Responsive image
on 30 Maret 2021 20:12:58
  • Pengurus Pusat

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PADA CEDERA GINJAL AKUT

Hani  Susianti
Pokja Ginjal Hipertensi PDS PatKLIn

PENDAHULUAN
       Tanggal 11 Maret  diperingati sebagai hari ginjal sedunia, dan tema untuk tahun 2021 adalah “Living Well with Kidney Disease”, untuk mengingatkan tentang penyakit ginjal dan pentingnya menjaga kesehatan ginjal. Salah satu kelainan ginjal yang sering terjadi, namun sulit untuk dideteksi dengan cepat adalah cedera ginjal akut atau acute kidney injury (AKI). Kejadian cedera ginjal akut  sekitar 15% pada pasien rawat inap dan lebih dari  30% pada pasien di  ICU serta  45 -70% cedera ginjal akut dikaitkan dengan keadaan sepsis.  Cedera ginjal akut tidak berdiri sendiri sebagai suatu penyakit, tetapi sering terjadi pada penyakit kardiovaskular, nefrotoksisitas, obstruksi saluran kemih, sepsis dan apa pun yang dapat menyebabkan laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dengan cepat. Menurut KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes) tahun 2012, cedera ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara mendadak akibat kerusakan ginjal dalam 7 hari atau kurang, yang ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin dan penurunan produksi urine (Wang dkk., 2018; Luft, 2021).
       Cedera ginjal akut merupakan kelainan ginjal yang kompleks dan memiliki variasi gambaran klinik yang luas, namun bila dikenali secara dini, diketahui penyebabnya dan ditangani  dengan  tepat akan mencegah terjadinya progresivitas, karena 20 sampai 50% pasien cedera ginjal akut akan menjadi penyakit ginjal kronik, gagal ginjal (5%) dan akhirnya membutuhkan dialisis seumur hidup (Beker dkk., 2018). Pemeriksaan laboratorium konvensional  pada cedera ginjal akut adalah kreatinin. Pemeriksaan kreatinin memiliki beberapa kekurangan untuk menilai  cedera ginjal akut, sehingga sangat dibutuhkan biomarker baru. Saat ini terdapat  banyak biomarker baru, namun yang dapat diperiksa  dengan menggunakan autoanalayzer atau POCT (Point of Care Test) masih belum banyak, diantaranya adalah NGAL, KIM I, Nephrocheck dan PenKid. Acute Disease Quality Initiative Consensus Conference tahun 2020 merekomendasikan penggunaan biomarker baru untuk cedera ginjal akut dan melakukan penelitian lebih lanjut pada biomarker yang baru (Ostermann dkk., 2020). Berdasarkan hal diatas, pemahaman yang baik tentang pemeriksaan laboratorium konvensional dan biomarker baru pada cedera ginjal akut sangat dibutuhkan, supaya  penatalaksanaan pasien dengan cedera ginjal akut dapat dilakukan secara cepat dan tepat.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM   KONVENSIONAL  PADA CEDERA  GINJAL AKUT
        Penyebab cedera ginjal akut secara garis besar dibagi menjadi penyebab  prerenal (hipoperfusi ginjal), penyebab intrarenal (kerusakan  jaringan ginjal) dan pasca renal. Penyebab  prerenal  merupakan  penyebab yang paling sering  terjadi. Apabila kondisi ini tidak segera dikoreksi akan menyebabkan kerusakan permanen dari ginjal. Kondisi yang dapat menyebabkan hal tersebut misalnya  kehilangan cairan tubuh akibat diare yang berkepanjangan, perdarahan atau kehilangan banyak cairan pada penderita luka bakar yang luas, atau pada pasien dengan kegagalan fungsi jantung yang menyebabkan sirkulasi ke organ tidak tercapai. Penyebab intrarenal sering diakibatkan karena nekrosis dari tubulus atau acute tubular necrosis. Penyebab pasca renal misalnya obstruksi saluran kemih. Tahapan cedera ginjal akut dapat diawali dengan periode oliguri, diikuti dengan periode diueresis dan periode penyembuhan (Makris dan Spanou, 2016).
         Kriteria cedera ginjal akut  yang saat ini dipakai adalah kriteria KDIGO (Kidney Disease Improving Global Outcomes). Tahun 2012, KDIGO melakukan analisis retrospektif melalui uji klinis pada cedera ginjal akut berdasarkan kriteria RIFLE dan AKIN. Berdasarkan hasil tersebut KDIGO kemudian menetapkan kriteria diagnostik dan klasifikasi untuk cedera ginjal akut, yang terdapat pada Tabel 1 (Wang dkk., 2018).


        Saat ini, pemeriksaan laboratorium yang sering diminta  untuk menilai fungsi ginjal pada cedera ginjal akut  adalah ureum, kreatinin, cystatin C dan urinalisis.
Ureum adalah hasil metabolik  akhir dari protein atau asam amino dalam tubuh. Di ginjal, ureum selain difiltrasi oleh glomeruli juga direabsorbsi di tubulus proksimal. Reabsorbsi ureum sangat dipengaruhi oleh  aliran filtrat dalam tubulus, semakin lambat aliran, maka semakin  banyak ureum yang direabsorbsi. Kendala dalam pemeriksaan ureum untuk menilai cedera ginjal akut adalah  kadar ureum dalam darah kurang stabil dan  sangat dipengaruhi oleh makanan dan pembentukannya di hati. Nilai ureum clearance  lebih rendah dari nilai GFR (Glomerular Filtration Rate), sehingga ureum clearance  tidak digunakan untuk menilai fungsi ginjal (Fischbach dan Dunning, 2014).
         Kreatinin adalah  protein non nitrogen yang merupakan hasil metabolisme kreatin fosfat. Kreatin di otot dan otak  akan mengalami fosforilasi menjadi kreatin fosfat, apabila diperlukan energi maka kreatin fosfat diurai menjadi ATP dan kreatinin. Kreatinin di ginjal akan difiltrasi dan juga disekresi oleh tubulus. Nilai creatinine clearance ditentukan dengan perhitungan menggunakan rumus yaitu kadar kreatinin urine dikalikan diuresis urine 24 jam, dikalikan faktor koreksi permukaan tubuh, kemudian dibagi kadar kreatinin darah. Adanya kendala dalam pengumpulan urine 24 jam, maka saat ini digunakan beberapa rumus untuk memperkirakan creatinine clearance. Salah satu rumus yang banyak dipakai  saat ini adalah rumus CKD-EPI.  Ada beberapa kekurangan penggunaan kreatinin sebagai parameter GFR dan cedera ginjal akut, misalnya pada pasien dengan gangguan ginjal ringan, maka  belum didapatkan perubahan bermakna dari kadar kreatinin darah. Deteksi gangguan fungsi ginjal dengan kadar kreatinin darah baru terlihat setelah terjadi  penurunan GFR sekitar 50%. Korelasi antara peningkatan kadar kreatinin darah dengan beratnya gagal ginjal kurang tepat pada gagal ginjal yang berat akibat berkurangnya produksi kreatinin. Beberapa sumber kesalahan dalam penetapan creatinine clearance adalah  pengumpulan urine 24 jam yang kurang tepat, kreatinin dalam urine dirombak oleh bakteri bila  tidak diberi pengawet, pengaruh massa otot, serta latihan fisik yang berlebihan sebelum pemeriksaan. Sekresi kreatinin oleh tubulus juga menyebabkan nilai creatinine clearance lebih besar dari GFR yang sesungguhnya. Meskipun kreatinin memiliki beberapa kelemahan untuk mendeteksi cedera ginjal akut, namun saat ini pemeriksaan kreatinin yang paling banyak dipakai, sehingga standarisasi pemeriksaan perlu dilakukan. Pemeriksaan kreatinin harus menggunakan reagen kreatinin yang sudah distandardisasi dengan metode IDMS (Isotopedi-Dilution Mass Spectrometry) dan menggunakan kalibrator yang mengacu pada bahan referensi berstandar internasional. Contoh metode yang direkomendasikan untuk pengukuran kreatinin adalah photometric compensated Jaffé dan metode enzimatik, serta menggunakan kalibrator standar yaitu NIST SRM 967 (The National Institute of Standards dan Technology Standard Reference Material) (Biljak dkk., 2017).
        Cystatin C adalah  proteinase cysteine  dengan ukuran yang kecil (13,3kDa). Cystatin C diproduksi oleh sel berinti dengan laju relatif tetap. Cystatin C dapat ditemukan di semua cairan tubuh, difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorbsi di tubuli, tetapi mengalami katabolisme hampir lengkap di tubuli proksimal sehingga tidak ada yang kembali ke darah. Hal ini menyebabkan kadar cystatin C dalam darah dapat dipakai untuk menggambarkan GFR dan cedera ginjal akut. Cystatin C awalnya hanya diukur di dalam darah, namun akhir-akhir ini perhatian ditujukan pada pengukuran kadar cystatin C urine sebagai parameter kerusakan tubuli. Nilai sensitivitas dan spesifisitas cystatin C serum untuk cedera ginjal akut adalah 84% dan 82%. Cystatin C juga dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan dialisis dan kematian pada pasien. Namun demikian kadar cystatin C diduga dipengaruhi oleh penggunaan terapi imunosupresif dan adanya keganasan. Harga cystatin C yang jauh lebih tinggi dari kreatinin kemungkinan juga menjadi penghambat penggunaannya pada cedera ginjal akut (Beker dkk., 2018; Luft, 2021).  
         Hasil pemeriksaan urinalisis pada cedera ginjal akut kemungkinan akan mendapatkan proteinuria, lekosituria, hematuria dan kelainan sedimen, tergantung penyebab cedera ginjal akut. Penelitian Molnar dkk (2012) menyebutkan bahwa proteinuria yang terjadi pasca operasi jantung meningkatkan risiko terjadinya cedera ginjal akut dengan  nilai ROC 0,75.  Peningkatan jumlah sel epitel tubulus pada sedimen urine dikaitkan dengan kemungkinan penyebab dari cedera ginjal akut adalah ATN (Acute Tubular Necrosis) (Kanbay dkk., 2010). 

PERKEMBANGAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM YANG  BARU PADA CEDERA GINJAL AKUT
         Beberapa biomarker berdasarkan lokasi terjadinya cedera ginjal akut nampak pada Tabel 2. Beberapa biomarker tersebut akan dibahas berikut ini, terutama biomarker yang saat ini sudah dapat dilakukan pemeriksaan secara otomatik ataupun menggunakan POCT (Point of Care Test).

Neutrophil  Gelatinase-Associated Lipocalin (NGAL) merupakan protein dengan berat molekul 25 kDa, dan termasuk dalam famili lipocalin. NGAL terutama disintesis oleh sel epitel tubulus proksimal, juga ditemukan pada bagian loop of henle dan collecting duct ginjal. NGAL mempunyai peran penting pada regenerasi dan pertumbuhan sel setelah mengalami cedera ginjal. Dengan ditemukannya NGAL pada sebagian besar bagian ginjal memungkinkan NGAL sebagai biomarker kerusakan ginjal yang spesifik. Pengukuran NGAL urine (uNGAL) lebih merefleksikan kerusakan ginjal lokal dan tidak invasif sehingga mengurangi pengambilan sampel darah terus-menerus terutama pada pasien yang sakit kritis dan anak-anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai uNGAL meningkat  sebelum munculnya proteinuria patologis. Kadar NGAL meningkat dalam urine dan darah (serum) dalam waktu 2 jam sesudah cedera ginjal, dan ekspresi mRNA NGAL meningkat 1000 kali dalam waktu 24 sampai 48 jam, sehingga NGAL merupakan suatu biomarker dini, sensitif  dan non-invasif untuk cedera ginjal akut. Kurva ROC untuk NGAL urine dalam memprediksi cedera ginjal akut adalah 0,998 dan untuk NGAL plasma adalah 0,91. Namun demikian disebutkan bahwa kadar NGAL dipengaruhi oleh infeksi saluran kemih (Rubinstein dkk., 2010; Wang dkk., 2018). Saat ini pemeriksaan NGAL dapat dilakukan dengan autoanalyzer secara otomatik.
        Kidney Injury Molecule 1 (KIM-1) merupakan biomarker untuk menilai kerusakan tubulus. Kidney Injury Molecule 1 merupakan glikoprotein tipe 1 dari sel membran, terekspresi ketika ada lesi pada  tubulus proksimal. KIM-1 meningkat pada keadaan  iskemia ginjal , injuri ginjal toksik, penyakit ginjal polikistik dan karsinoma sel renal. Penelitian  pendahuluan menunjukkan bahwa KIM-1 lebih sensitif dan spesifik dalam mendeteksi cedera ginjal akut setelah pembedahan cardiopulmonary bypass dan dianggap lebih  bagus dari aktifitas NAG urine. Kadar  KIM-1 meningkat pada 40% pasien setelah 2 jam mengalami cedera ginjal akut dan menjadi 100% setelah 24 jam terjadi cedera ginjal akut. Kidney Injury Molecule 1 dilaporkan lebih spesifik untuk mendeteksi  iskemia atau nefrotoksik pada cedera ginjal akut dibanding NGAL. Namun demikian, NGAL dilaporkan lebih sensitif  dalam menilai cedera ginjal akut  dibanding KIM-1. Nilai kurva ROC untuk KIM-1 setelah 12 jam terjadinya cedera ginjal akut adalah 0,83. Hasil meta-analisis dari 11 uji klinis dengan total 2979 sampel untuk memprediksi cedera ginjal akut, menunjukkan KIM-1 memiliki sensitivitas 74,0% (95% CI, 61,0-84,0%) dan spesifisitas 86,0% (95% CI, 74,0-93,0%) (Liangos dkk., 2007;  Shao dkk., 2014).
        Tissue inhibitor metalloproteinase-2 (TIMP-2) adalah protein non glycosylated dengan berat molekul 21-kDa yang mengatur pertumbuhan sel dan apoptosis. Insulin-like growth factor-binding protein 7 (IGFBP7) adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 29-kDa. Pasien dengan cedera ginjal akut akan mengekspresikan peningkatan TIMP-2 dan IGFBP7 pada sel tubular ginjal, yang memicu G1 cell cycle arrest melalui induksi p27KIP1 dan p21G. Hal ini merupakan respon pada awal terjadinya cedera ginjal akut. Kombinasi dari TIMP-2 dan IGFBP7 dikenal sebagai kit Nephrochek  yang memiliki kurva ROC 0,84 (95% CI, 0,77-0,90) untuk mendeteksi cedera ginjal akut  pada pasien sepsis. Saat ini telah tersedia kit POCT untuk Nephrochek, dan sudah mendapat approved dari FDA, dengan waktu pemeriksaan 20 menit (Honore dkk., 2016; Luft, 2021).
        Proenkephalin (penKid) adalah biomarker untuk menilai filtrasi ginjal. PenKid dinyatakan sebagai biomarker cedera ginjal akut pada pasien sepsis dan gagal jantung akut. Proenkephalin dikenal sebagai opioid endogen, yang mempengaruhi fungsi ginjal. Gayat dkk. (2018) melaporkan nilai ROC penKid adalah 0,908 (95% CI 0,868–0,44; p < 0,0001) untuk memprediksi cedera ginjal akut. Peningkatan kadar penKid sebagai prediksi kebutuhan akan hemodialisis pada pasien cedera ginjal akut, memiliki nilai AUC sebesar 0,778 [95% CI 0,713-0,838] (Gayat dkk., 2018). Saat ini sudah tersedia kit POCT untuk penKid.

SIMPULAN 
Diagnosis  cedera  ginjal akut masih menjadi masalah sampai saat ini. Pemeriksaan laboratorium diharapkan memiliki peran besar untuk mendeteksi cedera ginjal akut secara dini. Namun pemeriksaan kreatinin yang saat ini banyak dipakai pada cedera ginjal akut, kadarnya baru meningkat ketika ginjal kehilangan setengah fungsinya sehingga dianggap lambat untuk mengetahui adanya cedera ginjal akut. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan biomarker lain seperti cystatin C, NGAL, KIM-1, Nephrocheck dan PenKid. Biomarker tersebut cukup menjanjikan untuk mendeteksi cedera ginjal akut secara dini, sehingga perlu dipahami penggunaanya secara tepat.   


DAFTAR  PUSTAKA
Beker BM, Corleto MG, Fieiras C. Musso CG. 2018. Novel Acute Kidney Injury Biomarkers: Their Characteristics, Utility and Concerns. International Urology and Nephrology. 50:705–713.
Biljak VR, Honovic L, Matica  J, Kresic B and Simic Vojak S. 2017. The Role of Laboratory Testing in Detection and Classification of Chronic Kidney Disease: National Recommendations. Biochemia Medica. 27(1) :153-176.
Fischbach  FT, Dunning MB. 2014. A Manual of Laboratory and Diagnostic Test.9thed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins.p.123-162.
Gayat E, Touchard C, Hollinger A, et al. 2018. Back-to-Back Comparison of Penkid with Nephrocheck® to Predict Acute Kidney Injury at Admission in Intensive Care Unit: A Brief Report. Critical Care. 22:24-32
Honore PM, Nguyen HB, Gong M, et al. 2016. Urinary Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-2 and Insulin-Like Growth Factor-Binding Protein 7 for Risk Stratification of Acute Kidney Injury in Patients with Sepsis. Critical Care Medicine. 44(10):1851–1860.
Liangos O, Perianayagam MC, Vaidya VS. 2007. Urinary N-Acetyl-?-(D)-Gucosaminidase Activity and Kidney Injury Molecule-1 Level Are Associated with Adverse Outcomes in Acute Renal Failure. J. Am Soc Nephrol . 18 : 904-912.
Luft FC. 2021. Biomarkers and Predicting Acute Kidney Injury. Acta Physiol. 231:e13479.
Makris K and Spanou L. 2016. Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology and Clinical Phenotypes. Clin Biochem Rev. 37 (2) : 85-97
Molnar AO, Parikh CR, Sint K,  Coca SG,  Koyner J,  Patel UD,  Butrymowicz I,  Shlipak M,  Garg . 2012. Association of Postoperative Proteinuria with AKI after Cardiac Surgery among Patients at High Risk. Clin J Am Soc Nephrol. 7: 1749–1760
Ostermann  M, Zarbock A, Goldstein S,  Kashani K, Macedo E,  Murugan R, et al. 2020. Recommendations on Acute Kidney Injury Biomarkers From the Acute Disease Quality Initiative Consensus              Conference. A Consensus Statement. JAMA Network Open.3(10):e2019209.
Rubinstein T,  Pitashny M, Levine B,  Schwartz N,  Schwartzman J,  Weinstein E, Regiosa J,  Lu T,  Isenberg D,  Rahman A, Putterman C.  2010. Urinary Neutrophil Gelatinase-Associated Lipocalin as  A Novel Biomarker  for Disease Activity in Lupus  Nephritis. Rheumatology. 9: 1-12.
Shao X, Tian L, Xu W,et al. 2014. Diagnostic Value of Urinary Kidney Injury Molecule 1 for Acute Kidney Injury: A Meta-Analysis. PLoS ONE.  9:1. Article ID e84131.
Wang K, Xie S, Xiao K, et al. 2018. Biomarkers of Sepsis-Induced Acute Kidney Injury. BioMed Research International. Article ID 6937947, https://doi.org/10.1155/2018/6937947
Kanbay M, Kasapoglu B, Perazella  MA. 2010. Acute Tubular Necrosis and Pre-Renal Acute Kidney Injury: Utility of Urine Microscopy in Their Evaluation- A Systematic Review. International Urology and Nephrology. 42: 425–433